Waktu berjalan. Jaman berganti. Guru, profesi yang dahulu dikenal dengan keteladanan, digugu
dan ditiru, pelan tapi pasti kehilangan martabat jati dirinya.
Berprofesi sebagai guru harus ekstra hati-hati: terpeleset sedikit saja
melanggar hak asasi murid, fatal akibatnya.
“Bila ditelusuri, pada umumnya guru
menghukum murid karena tidak mematuhi tata tertib sekolah, misalnya
tidak mengerjakan pekerjaan rumah, terlambat, berkelahi, dan melanggar
peraturan sekolah lainnya. Tentu sebagai seorang guru tidak akan
membiarkan muridnya melanggar peraturan dan tata tertib sekolah sehingga
dengan tidak sengaja menghukum murid tersebut dengan cara mencubit dan
memukul dengan bebas,” kata Tumpak Silitonga, Ketua PGRI Kabupaten
Simalungun (Kompas.com, 30/4/2013).
Organisasi profesi guru PGRI (Persatuan
Guru Republik Indonesia) membentuk dan mengaktifkan lembaga internal
Dewan Kehormatan Guru (DKG). Hal itu dilakukan untuk mengawasi
pelaksanaan kode etik, agar profesi guru lebih bermartabat seperti
halnya profesi lainnya (Suara Karya Online, 1/11/2012).
“Di luar tindakan kriminal dan narkoba,
kasus yang berhubungan dengan guru akan diselesaikan lewat DKG.
Misalkan, orangtua yang tidak suka anaknya dijewer kemudian mengadukan
kepada polisi. Akibatnya, guru tidak punya perlindungan hukum. Mau
bertindak dalam kelas guna membuat anak disiplin malah ‘dikriminalkan’,”
ungkap Sulistyo, Ketua Umum PGRI (Suara Karya Online, 31/10/2012).
Profesi guru rentan dijerat hukum dan ketika berhadapan dengan hukum guru bagai anak ayam kehilangan induknya.
Oh, Guru, Nasibmu Kini
Menjadi guru tidak cukup dengan berbekal
niat baik. Berniat menegakkan disiplin tidak lantas menjadikan guru
bebas melakukan tindakan apapun: memukul, menempeleng, atau melakukan
kekerasan fisik. Kalaupun kekerasan fisik harus dihindari bukan berarti
guru bebas melakukan kekerasan psikis. Kasus terakhir ini sebenarnya
lebih sering terjadi dan dampak negatif terhadap siswa lebih destruktif.
Maka, seorang guru semestinya adalah
manusia yang sudah selesai dengan dirinya. Ibarat deret ukur ia berada
di ordinat nol. Kalau memakai bahasa agama, kedua kakinya berpijak kuat
di laku tawakkal dan takwa. Di hadapan murid-muridnya
sang guru menyalurkan kasih sayang Tuhan. Di hadapan Tuhan sang guru
berdoa menyampaikan idaman setiap murid agar diberi ilmu yang bermanfaat
dunia akhirat. Guru adalah sosok pribadi yang manunggal.
Sekarang, di jaman yang sarat dengan
tunjangan-tunjangan, adakah sosok pribadi guru yang manunggal: manunggal
dengan muridnya, manunggal dengan Tuhannya. Kalaupun ada mungkin
jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Pantas jika profesi guru rentan
dijerat hukum.http://edukasi.kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan pesan...tuk kebaikan blog ini....